Sedikit cerita tentang pendidikan keluarga, yang menjadi salah satu tantangan Mama Gajah Bercerita (MaGaTa) bulan lalu. Setelah masukan dari teman-teman di MaGaTa, akhirnya ditulis juga disini. Selain itu, untuk memenuhi tantangan 1M1C. Semoga bermanfaat.

Kedua orang tuaku memiliki perhatian yang tinggi terhadap pendidikan anak-anaknya. Didukung latar belakang ibu sebagai guru sekolah dasar dan ayah yang dulunya suka mengembara ke negeri orang membuat mereka menjadi orang tua yang berbeda di tengah desa terpencil. Mereka memiliki pikiran yang terbuka, keyakinan yang tinggi dan bisa membuat anak-anak mereka untuk terus semangat mendalami ilmu. Meski di tengah keterbatasan ekonomi, ayah ibuku tetap gigih memperjuangkan sekolah anak-anaknya.Tak jarang pula mereka menghadapi kendala ketiadaan dukungan dari sanak saudara akan perihal pendidikan kami, namun mereka tetap teguh dengan pendirian mereka.

Ayah ibuku memiliki misi agar anak-anaknya terlebih dahulu memiliki pendidikan berpondasi agama. Semenjak masuk sekolah dasar, kami pun sudah mengaji ke surau. Sekolah di pagi hingga siang hari dan mengaji di malam hari. Meski jarak rumah yang waktu itu jauh dari surau, ayahku selalu ada untuk menjemput ku. Selama di sekolah dasar, orang tuaku menanamkan secara perlahan-lahan pentingnya belajar dan berprestasi.

Salah satu kebiasaan orang tuaku di akhir semester adalah menghargai angka 9 kami dengan hadiah karena memang butuh perjuangan untuk mendapatkan nilai demikian. Meski hanya hadiah kecil atau satu angka sembilan dihargai dengan sepuluh ribu rupiah rasanya begitu berharga. Melihat kakak-kakakku dengan nilai yang bagus, memiliki banyak hadiah dan berprestasi, tanpa ku sadari telah mendorong ku. Mereka membuatku, adik mereka yang saat itu suka sekali bermain dan malas-malasan ini, untuk semangat belajar meski tujuan utamanya adalah mendapatkan hadiah. Tidak hanya itu, ketika ibuku di sekolah yang harus ku panggil bu guru, selalu tahu cara menghadapi ku yang akhirnya memaksa ku menjaga tingkah ku. Akhirnya, kebiasaan ini menumbuhkan rasa cintaku terhadap ilmu secara perlahan dan membuatku semangat untuk menimba ilmu tanpa imbalan hadiah lagi. 

Selepas dari sekolah dasar, ayah ibuku mengarahkan kami masuk ke Madrasah Aliyah Negeri (MtsN) setara dengan sekolah menengah pertama. Dengan prestasi dan nilai kami di sekolah dasar, kami pun akhirnya berhasil masuk ke madrasah terbaik di kota terdekat. Sejak saat itu pula, orang tuaku mulai mewajibkan kami untuk menutup aurat dan memakai jilbab. Awalnya berat, ibuku keras dan tegas akan hal ini,  sedikit saja kami keluar tanpa menutup aurat maka beliau akan langsung meneguri. Akhirnya yang berat itu sudah menjadi kebiasaan dan kebutuhan bagi kami. 

Selanjutnya, khususnya aku masuk ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang setara dengan SMA dan berada di Pulau Jawa. Jujur, sekolah disini bagiku seperti mendapatkan bintang jatuh, bisa menjadi bagian dari orang-orang luar biasa, yang kemudian banyak mengubah hidupku. Guru-guru, kakak kelas dan teman-teman yang meninggalkan banyak hal baik untukku, meski aku sendiri masih jauh dari yang diharapkan. Dulu guruku di MTsN pernah bilang, alangkah lebih baik kita bermain dengan penjual parfum, setidaknya sedikit baunya akan tercium pada kita. Begitu juga aku belajar di MAN, perlahan-lahan berbaur dan beradaptasi dengan warga penjara suci (begitulah kami siswa MAN ini menyebutnya) agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Orang tuaku selalu berpesan, “Nak, dimanapun kamu berada nanti kamu harus selalu menjadi anak yang jujur. Kejujuran itu adalah yang utama. Sekali kamu tidak jujur maka kamu akan sulit dipercayai”. Di lain waktu beliau juga berpesan, “Nak, kamu harus selalu ingat untuk sholat dan mendekatkan diri pada Allah. Meskipun kamu jauh dari rumah, Allah akan selalu ada untukmu dan kami orang tuamu akan selalu ada dan mendoakan kebaikanmu”. Pesan dari orang tuaku ketika kam akan kembali merantau. 

Tentunya setiap orang tua tak mudah melepaskan anak-anaknya untuk sekolah jauh dan di luar jangkauan mereka. Atau pulang sekali setahun dan hanya bisa sesekali menelepon ke rumah karena saat itu belum secanggih zaman sekarang. Tapi keyakinan dan kekuatan hati mereka membuat kami anak-anaknya juga kuat dan tak pernah mengeluh ataupun merengek untuk kembali ke rumah. Kami pun akhirnya bisa survive sekolah di sekolah berasrama nan jauh dari rumah. Salah satu cara orang tuaku adalah menyiapkan kami sedari dini. Sejak kecil kami sudah terbiasa berbagi peran terkait pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring, mencuci baju, memasak dan sebagainya sehingga setiap anak akan memiliki tanggung jawab masing-masing. Semakin bertambah usia maka tanggung jawab kami akan semakin besar. Hingga akhirnya orang tuaku yakin bahwa mereka telah membekali anak-anak mereka dengan kemandirian dan kesiapan untuk menjaga diri meski jauh dari mereka. 

Semoga kelak, aku juga bisa mendidik anak-anakku seperti halnya ayah ibuku. Meski zaman telah berubah, selalu ada nilai-nilai baik dari pengalaman masa lalu yang bisa dipetik dan disesuaikan kembali dengan zamannya.